23 Desember 2008

FISIOLOGI OTOT DAN TULANG

PENDAHULUAN
Diantara karakteristik yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah kemampuan mempertahankan postur tubuhnya yang bisa tegak dan bergerak yang diatur oleh sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal tersebut bekerja membuat gerakan dan tindakan yang harmoni sehingga manusia menjadi seorang yang bebas dan mandiri. Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang/kerangka, otot, tulang rawan (cartilago), ligamen, tendon, fascia, bursae dan persendian.

1. TULANG
Sistem skelet (tulang) dibentuk oleh sebuah matriks dari serabut-serabut dan protein yang diperkeras dengan kalsium, magnesium fosfat, dan karbonat. Bahan bahan tersebut berasal dari embrio hyalin tulang rawan melalui osteogenesis kemudian menjadi tulang, proses ini oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Terdapat 206 tulang di tubuh yang diklasifikasikan menurut panjang, pendek, datar, dan tak beraturan, sesuai dengan bentuknya. Permukaan tulang bagian luar yang keras disebut Periosteum, terbentuk dari jaringan pengikat fibrosa. Kualitas kerasnya tulang merupakan hasil deposit kalsium. Periosteum mengandung pembuluh darah yang memberikan suplai oksigen dan nutrisi ke sel tulang. Rongga tulang bagian dalam diisi dengan sumsum kuning dan sumsum merah. Sumsum tulang merah adalah tempat hematopolesis yang memproduksi sel darah putih dan merah (RBCs; WBCs) serta platelet.

 Fungsi tulang adalah sebagai berikut, yaitu :
1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh
2. Melindungi organ –organ tubuh (contoh tengkorak melindungi otak)
3. Untuk pergerakan (otak melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak)
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum tulang)

 Menurut bentuknya tulang dibagi 4 (empat), yaitu :
1. Tulang panjang (tulang paha ,tulang lengan atas ) terdiri dari bagian tengah dan bagian tepi (epifise). Bagian tengah terdiri dari tulang padat; bagian epifise dari tulang karang (cancellous atau trabecular),trabecular memberi tenaga kepada tulang ketika menurun bobotnya
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak tetap dan didalamnya terdiri dari tulang
karang ,bagian luar terdiri dari tulang padat.
3. Tulang ceper (adalah tulang tengkorak) terdiri dari dua tulang karang di sebelah dalam dan tulang padat di sebelah luar.
4. Bentuk yang tidak beraturan (vertebrae) sama seperti tulang pendek

2. OTOT
Otot dibagi kedalam tiga kelompok utama menurut fungsi kontraksi dan hasil gerakan dari seluruh bagian tubuh. Pengelompokannya adalah sebagai berikut :
 Otot rangka (striated/otot lurik ) terdapat pada sistem skelet ,memberikan pengontrolan pergerakan, mempertahankan postur tubuh dan menghasilkan panas
 Otot visceral (otot polos) terdapat pada saluran pencernaan, saluran perkemihan, pembuluh darah. Otot-otot ini mendapat rangsangan dari saraf otonom berkontraksi diluar kesadaran
 Otot cardiac hanya terdapat pada jantung, berkontraksi diluar pengendalian
Seperti halnya tulang, Otot juga mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
1. Untuk menggerakkan skelet
2. Untuk menghasilkan panas
3. Untuk mempertahankan sikap badan

Jaringan otot memiliki karakteristik yang unik mengenai konstraktilitas, ekstensibilitas, elastisitas, dan iritabilitas. Karena otot bersifat elastis maka dalam bekerja, otot-otot ini berpasangan namun memiliki aksi yang berlawanan; ketika satu otot berkontraksi (penggerak yang utama) maka yang lain akan mengendor (antagonis). Gerakan terjadi karena otot menarik tulang yang berfungsi sebagai tangkai dan persendian bekerja sebagai engsel.
Kekuatan setiap gerakan atau kontraksi tergantung pada panjang asli dari serabut-serabut, jumlah serabut yang diaktifkan oleh sistem syaraf dan keadaan metabolik otot.
Kontraksi otot yang tidak normal dapat terjadi dalam bentuk :
 Spasmus, suatu kontraksi yang tidak sengaja, dalam waktu yang singkat dan tiba-tiba.
 Kejang/kram, spasme yang menimbulkan rasa nyeri kram, merupakan reaksi tetanus yang sempurna.
 Kontraksi tetanus,keseluruhan serabut berkontraksi
 Konktraktur, otot berkontraksi tetapi tidak bisa kembali ke bentuk semula.

3. CARTILAGO (TULANG RAWAN)
Tulang rawan terdiri dari serat-serat yang di letakkan pada suatu gelatin yang kuat , tetapi fleksibel tidak memiliki vaskuler. Nutrisi mencapai kartilago melalui proses disfusi gel / perekat dari kapiler yang berada pada perichondrium (serabut yang membentuk kartilago) melalui cairan sinovial. Jumlah serabut collagen yang terdapat pada kartilago menentukan bentuk fibrous, hyalin atau elastisitas, fibrous (fibrocartilago) memiliki paling banyak serabut dan karena itu memiliki kekuatan meregang. Fibro kartilago menyusun diskus intervertebralis artikular (hyaline) kartilago halus, putih, mengkilap dan kenyal membungkus permukaan persendian dari tulang dan berfungsi sebagai bantalan. Kartilago yang elastis memiliki sedikit serat dan dapat di temukan pada daerah telinga luar .



4. LIGAMEN (SIMPAY)
Ligamen adalah suatu susunan serabut yang terdiri dari jaringan ikat keadannya kenyal dan fleksibel. Ligamen mempertemukan kedua ujung tulang dan mempertahankan stabilitas. Contoh ligamen medial, lateral colateral dari lutut yang mempertahankan diolateral dari sendi lutut serta ligamen cruciate anterior dan posterior didalam kapsul lutut yang mempertahankan posisi anterior posterior yang stabil. Ligamen pada daerah tertentu melengket kepada jaringan untuk mempertahankan struktur, contoh ligamen ovarium yang melalui ujung tuba ke pritoneum.

5. TENDON
Tendon adalah ikatan jaringan fibrosa yang padat yang merupakan ujung dari otot dan menempel kepada tulang. Tendon merupakan ekstensi dari selaput fibrosa yang membungkus otot dan bersambung dengan periosteum. Selaput tendon berbentuk selubung dari jaringan ikat yang menyelubungi tendon tertentu, terutama pada pergelangan tangan dan tumit. Selubung ini bersambung dengan membran synovia yang menjamin pelumasan sehingga mudah bergerak.

6. FASCIA
Fascia adalah suatu permukaan jaringan penyambung longgar yang didapatkan langsung di bawah kulit sebagai fascia superficial, atau sebagai pembungkus tebal jaringan penyambung fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah yang demikian disebut fascia dalam

7. BURSAE
Bursae adalah kantong kecil dari jaringan ikat yang berisi cairan yang memudahkan gerakan pada suatu sendi. Misalnya terdapat diantara tulang dan kulit, antara tulang dan tendon atau diantara otot-otot. Bursae dibatasi oleh membran sinovial dan mengandung cairan sinovial. Bursae merupakan bantalan diantara bagian-bagian yang bergerak seperti pada olekranon bursae, terletak antara prosesus olekranon dan kulit Bursa dapat terganggu oleh radang yang disebut bursitis.

8. PERSENDIAN
Persambungan, sendi atau artikulasio adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pertemuan antara dua atau beberapa tulang dari kerangka.

 Klasifikasi Persendian :
1. Berdasarkan Fungsinya dibagi menjadi :
a. Sendi Fibrus atau Sinartrosis (sendi yang tidak bergerak). Tulang yang dihubungkan dengan jaringan fibrosa atau tulang rawan (cartilago), seperti pada tulang tengkorak yang tidak dapat melakukan pergerakan.
b. Sendi Sinovial atau Diartrosis (sendi yang bergerak) adalah persendian yang dapat bergerak lebih leluasa, seperti sendi panggul, lutut, bahu, siku. Bagian akhir yang berdekatan dibungkus oleh hyalin cartilago dan dikelilingi oleh fibrous kapsula sendi yang dibatasi oleh membran synovial yang mensekresi cairan synovial untuk melumas sendi. Ligamen, tendon dan otot berperan dalam stabilitas sendi.
 Bentuk-bentuk pergerakan sendi antara lain, adalah :

No Gerakan Definisi Contoh
1. Fleksi Gerakan menjauhi posisi nol Kebanyakan sendi
2. Ekstensi Gerakan kembali ke posisi nol Kebanyakan sendi
3. Dorsofleksi Gerakan dalam arah permukaan dorsal Pergelangan kaki, jari kaki, pergelangan tangan, jari tangan
4. Plantar
(atau palmar) fleksi Gerakan dalam arah permukaan plantar (atau) palmar Pergelangan kaki, jari kaki, (pergelangan tangan, jari tangan)
5. Aduksi Gerakan ke arah gais tengah  Sendi bahu, pinggul, metakarpofalangeal, metatarsofalangeal
6. Abduksi Gerakan menjauhi garis tengah Sendi bahu, pinggul, metakarpofalangeal, metatarsofalangeal
7. Inversi Memutar permukaan plantar kaki ke dalam Sendi subtalar dan midtarsal kaki
8. Eversi Memutar permukaan plantar kaki ke luar Sendi subtalar dan midtarsal kaki
9. Rotasi internal Memutar permukaan anterior ekstremitas ke dalam Bahu, pinggul
10. Rotasi eksternal Memutar permukaan anterior ekstremitas ke luar Bahu, pinggul
11. Pronasi Rotasi sehingga permukaan palmar tanan mengarah ke bawah Siku pergelangan tangan

12. Supinasi Rotasi sehingga permukaan palmar tanan mengarah ke atas Siku pergelangan tangan

• CATATAN :
• Jika gerakan melebihi posisi nol, dikatakan ada Hiperekstensi
•  Pada tangan atau kaki, garis tengah adalah garis yang berturut-turut ditarik melalui jari tengah tangan atau kaki

c. Sendi Amfiartrosis adalah persendian yang dapat bergerak sedikit, seperti persendian antar vertebra. Pada persendian ini tidak terdapat rongga sendi tetapi jaringan (fibrous, tulang rawan atau tulang) ditemukan diantara permukaan articular.

2. Berdasarkan Bentuknya sendi dibagi menjadi :
a. Ada tidaknya rongga atau celah sendi
b. Jenis jaringan pengikat tulang

3. Berdasarkan Pengikatnya sendi dibagi menjadi :
a. Pengikat jaringan fibrosa. Sendi ini tidak mempunyai celah. Tulang dihubungkan oleh jaringan ikat fibrosa dan berubah sifatnya. Contoh : tulang tengkorak dari fibrosa menjadi tulang dan hubungan ini disebut sutura.
b. Sindermosis. Jaringan fibrosa membentuk ligamentum. Misalnya hubungan anatara fibula dan tibia atau hubungan antara radius dan ulna.
c. Glomphosis. Sendi ini ada pada gigi. Penghubungnya adalah tulang rawan/kartilago. Mungkin ada gerakan atau tidak. Hubungannya disebut sinkondrosis. Terdapat pada tulang iga dan tulang dada. Juga pada simpisis pubis dan diantara ruas-ruas ada sendi yang mempunyai celah, terdapat cairan sinovial, cairan ini berfungsi sebagai pelumas.

OSTEOPOROSIS

OLEH : ERFANDI



A. PENGERTIAN
 Osteoporosis adalah kelainan dimana terdapat reduksi atau penurunan dari massa total tulang. Kecepatan resorpsi tulang lebih cepat dari kecepatan pembentukan tulang. Tulang menjadi keropos secara progresif, rapuh, mudah patah dan mudah fraktur.

 Osteoporosis adalah : suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang.

 Osteoporosis adalah : penyakit yang ditandai oleh berkurangnya massa tulang dan gangguan mikro asitektur jaringan tulang menjurus ke meningkatnya fragilitas tulang dan berakibat meningkatkan resiko fraktur.

B. TANDA DAN GEJALA
Osteoporosis datang bagaikan rayap di pintu ataupun tiang penyangga rumah. Tak terduga. Baru jika tulang sudah keropos, patah tulang dadakan langsung menjadi gejala yang dikeluhkan. Penderita acap kali tidak tahu bahwa mereka menderita osteoporosis sampai ketika tulang mereka sedemikian lemah, regangan tubuh yang mendadak, persinggungan ataupun jatuh menyebabkan patah tulang. Oleh karena itu penyakit ini (osteoporosis) sering disebut sebagai “penyakit diam-diam” (silent disease). Khusus daerah tulang belakang akan ditandai patahan-patahan kecil yang menyebabkan tulang belakang menurun secara vertikal. Tinggi badan akan menyusut dan bentuk setiap ruas berubah dari bentuk bujur sangkar menjadi segitiga. Jika tulang belakang yang keropos menekan syaraf tulang belakang, maka penderita akan mengeluh nyeri pinggang yang merambat ke bagiab kaki, dan bila dibiarkan dapat terjadi kelumpuhan gerak anggota kaki bawah.

C. LOKASI SERTA PROSES TERJADINYA FRAKTUR KARENA OSTEOPOROSIS
Semua tulang sebetulnya rentan akan kelainan ini, namun lokasi patah tulang yang seringkali terjadi adalah di daerah bongkol tulang paha atas, tulang belakang dan di daerah tulang lengan bawah. Kondisi ini erta kaitannya dengan beban yang dipikul oleh tulang tersebut. Secara empiris terbukti, timbulnya patah tulang acapkali diawali sikap tubuh yang “salah”. Sikap yang menyimpang saat berdiri, berjalan, ataupun mengangkat barang akan memberi tekanan yang berlebihan pada struktur tulang yang telah keropos. Setelah kurun waktu tertentu, ketika tekanan-tekanan tersebut tidak dapat ditanggung lagi oleh tulang terjadilah patah tulang

D. KLASIFIKASI DAN SEBAB
Menurut Sankaran, 2000 Osteoporosis dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Osteoporosis pimer dan osteoporosis sekunder
2. Osteoporosis generalis dan osteoporosis lokalis

 Osteoporosis Primer/Idiopatik
a. Tipe I
- Terkait dengan pasca menopause pada wanita
- Mengakibatkan kehilangan tulang trabekuler dan beberapa tulang kortikal, fraktur vertebrae dan fraktur radius distal
b. Tipe II (senile)
- Bone loss terkait dengan usia, defisiensi kalsium dan atau hiperparatyroid
- Terutama fraktur femur proksimal (terutama leher femur dan intertrochanter), tulang humerus proximal, proksimal tibia dan pelvis

 Osteoporosis Sekunder
a. Hormonal (hipogonadisme, hiperadrenokortisme, tirotoksikosis, hiperprolaktenemia, diabetes melitus, hipofosfatemia dewasa)
b. Nutrisional (gastektomi total, sindrom malabsorbsi, malnutrisi, defisiensi kalsium, alkoholisme, penyakit hati kronik, defisiensi vitamin D)
c. Kelainan metaolisme yang diturunkan
d. Lain-lain (porphyria, talasemia, rematoid artritis generalisata, anoreksia nervosa, mieloma, kehamilan)

E. PATOFISIOLOGI
1. Defisiensi Steroid Sex
- Mekanisme kerja steroid sex pada tulang sampai saat ini masih belum diketahui dengan lengkap
- Berdasarkan penelitian para ahli, hilangnya steroid sex akan mengakibatkan up-regulation produksi dan action sitokin yang bertanggung jawab terhadap osteoklastogenesis dan osteblastogenesis
2. Senescence
- Berkurangnya osteblastogenesis pada usia lanjut diikuti dengan meningkatnya adiposis dan mielogenesis, serta menurunnya osteoklastogenesis. Penurunan osteoklastogenesis disebabkan oleh berkurangnya sel-sel ostoblast/stroma yang mendukung pembentukan osteoklast. Hl tersebut menimbulkan dugaan adanya perubahan ekspresi gen-gen yang mendukung diferensiasi stem sel mesenkhim yang multipoten menjadi adiposis yang merugikan osteoblast
3. Ekses Glukokortikoid
Kelebihan glokukotikoid mempunyai efek supresi osteblastogenesis dalam sumsum tulang serta meningkatkan apoptosis osteoblast dan osteosit. Gambaran histologis utama glukokortikoid induced osteoporosis (GIOP) adalah berkurangnya ketebalan tulang dan kematian in situ bagian-bagian tulang.
Mekanisme yang mendasari hilangnya tulang (bone loss) pada ekses glukokortokoid adalah :
- Kenaikan resorbsi tulang
- Perununan proliferasi aktivitas biosintetik osteoblast
- Defisiensi steroid seks
- Hiperparatyroidisme sebagai akibat penurunan absorbsi Ca intestinum
- Hiperkalsium akibat gangguan metabolisme vitamin D

F. GOLONGAN FAKTOR RESIKO
Beberapa golongan orang yang beresiko terhadap osteoporosis diantaranya, adalah :
1. Penderita Hiperparatiroid
Hormon paratiroid yang terletak di leher depan kita berdekatan dengan kelenjar tiroid dapat mengalami keganasan atau tumor . Pada situasi ini, jumlah hormon yang beredar dalam tubuh akan meningkat. Hormon ini sangat erat hubungannya dengan sel osteoclast dalam tulang . Akibatnya bisa diduga sel-sel osteoclast akan mengalami peningkatan aktivitas. Akan lebih banyak senyawa kalsium yang diambil dari tulang sehingga menimbulkan peningkatan kadar kalsium dalam darah darah. Kondisi ini menyebabkan penderita mengalami penurunan nafsu makan, kemunduran dalam kekuatan otot, nyeri perut dan pengeroposan tulang bila terjadi secara berlanjut

2. Penderita Hipertiroid
Kadar hormon tiroksi yang dihasilkan kelenjar gondok pada kondisi ini berlebihan. Akibatnya, pertukaran zat dalam tubuh meningkat jauh diatas normal. Pengatur metabolisme tubuh menjadi terlalu aktif, termasuk dalam metabolisme kalsium. Terjadi pembuangan kalsium besar-besaran melalui air seni maupun tinja. Untuk mengimbanginya, terjadilah proses demineralisasi tulang yang lebih aktif

3. Penderita Anoreksia Nervosa
Penderita anoreksia nervosa akan melakukan pembatasan konsumsi makanan secara tidak wajar. Mereka akan berupaya matimatian untuk menjaga berat badan dan bentuk tubuhnya, serta mengendalikan kebiasaan makan dengan ketat. Seringkali mereka melakukan olah raga berlebihan dalam upayanya mencapai bobot badan ideal menurut imajinasinya. Penderita anoreksia ini mempunyai citra diri yang begitu menyimpang. Meskipun sudah kurus kering, mereka tetap menganggap diri mereka gemuk setiap kali bercermin dan secara psikologis mereka sangat peka terhadap kritik yang berkaitan dengan masalah bobot badan. Penderita anoreksia adalah individu-individu yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap aspek gizi. Sayang sekali terjadi distorsi pengetahuan gizi sehingga mereka tidak mampu mempraktikkan konsep-konsep informasi gizi yang diterimanya. Banyak diantara mereka adalah kaum perfeksionis (yang inigin segalanya tampak sempurna) dan pekerja keras. Kebiasaan makan yang menyimpang bisa jadi merupakan upaya mereka untuk mencari perhatian. Banyak ekses negatif yang timbul akibat kelainan pola makan ini, diantaranya terjadi penyusutan gusi yang menyebabkan gigi tanggal, dehidrasi, suhu badan rendah, penyusutan otot dan kerapuhan tulang dan erat kaitannya dengan rendahnya produksi hormon estrogen dan testosteron.

4. Perokok
Belum diketahui pasti bagaimana rokok dapat menimbulkan osteoporosis. Ada dugaan, zat-zat dalam rokok mencetuskan pemecahan hormon estrogen dan testosteron secara berlebihan. Akibatnya jumlah hormon estrogen atau testosteron dalam tubuh menurun sehingga pemeliharaan tulang jelas ajan terpengaruh

5. Peminum Kopi berlebihan
Para peneliti Belanda mengungkapkan bahwa konsumsi kopi yang berlebihan dapat meningkatkan kadar “Homosistein”. Homosistein adalah produk olahan protein. Kenaikan Homosistein mengakibatkan kenaikan kadar kolesterol, penuruan kadar vitamin B6 dan penurunan kepadatan tulang. Memang proses penurunan kepadatan tulang ini belum diketahui secara pasti. Beberapa ilmuwan menduga peningkatan pembuangan kalsium dalam air kencing yang menjadi penyebabnya.

6. Peminum alkohol berlebihan
Alkohol dapat mengakibatkan kerusakan banyak organ tubuh. Diantaranya ancaman terhadap kerapuhan tulang. Kondisi ini dapat terjadi lantaran adanya kegagalan yang sistematis sifatnya dalam pemeliharaan kadar mineral kalsium yang merupakan unsur penting dalam kepadatan tulang. Kegagalan pankreas dan hati karena alkohol mengakibatkan menurunnya produksi enzim pengolah lemak. Dengan jumlah enzim yang menurun, lemak yang dikonsumsi tidak mampu diserap dari usus secara maksimal. Lemak kita ketahui kaya akan kandungan beberapa senyawa yang penting bagi tulang seperti mineral kalsium dan fosfor serta vitamin D. Kondisi kekurangan senyawa –senyawa diatas, tubuh melakukan kompensasi melalui pembongkaran kalsium yang ada dalam tulang sehingga tulang menjadi keropos.

G. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosa osteoporosis dilakukan :
- X- ray
- Serum calsium phospor
- Test alkalinephospatase
- Biopsi transiliare tulang
- Menghitung tomography dan CT- Scan
- Scan tulang menggunakan radionuclide

H. TERAPI/TINDAKAN
Tujuan terapi :
- Mencegah terjadinya penyerapan massa tulang dan memicu percepatan pembentukan massa tulang
- Konsekuensi terjadinya patah tulang dengan melakukan tindakan pencegahan.
Pengobatan dapat dibagi dalam :
a. Terapi Pencegahan
Secara garis besar pencegahan osteoporosis dapat didibagi dalam beberapa katagori, yaitu :
 Pola tidur teratur termasuk diantaranya adalah :
- Olah raga atau aktivitas fisik
- Kebiasaan tidak merokok
- Hindari konsumsi kopi
- Hindari konsumsi alkohol
 Menjalaini diet yang baik
Contoh untuk kebutuhan Calsium adalah :
- Usia 11-24 tahun = 1200 mg
- Usia 25-menopouse = 1000 mg
- Saat menopouse = 1200 mg
- Pasca menopouse = 1500 mg
 Pemberian terapi dini pada :
- Wanita menopouse
- Penyakit-penyakit yang menyebabkan osteoporosis sekunder :
 Diabetes melitus
 Hipogonandism
 Chusing sindrom
 Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
b. Terapi kuratif (Kuratif treatment)
Beberapa macam obat-obatan yang diberikan pada penderita osteoporosis :
- Estrogen dan derivatnya
- Biphosfotase
- Kalsium
- Vitamin D
- Kalsifonin
- Natrium fluorida
- Steroid anabolik
- Thiazide

MELAKUKAN TEKNIK RELAKSASI

OLEH : ERFANDI


Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery, 1989). Ada tiga hal utama yang diperlukan dalam relaksasi, yaitu : posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang tenang. Posisi pasien diatur senyaman mungkin dengan semua bagian tubuh disokong (misal; bantal menyokong leher), persendian fleksi, dan otot-otot tidak tertarik (misal; tangan dan kaki tidak disilangkan). Untuk menenangkan pikiran pasien dianjurkan pelan-pelan memandang sekeliling ruangan, misalnya melintasi atap turun ke dinding, sepanjang jendela, dll. Untuk melestarikan muka, pasien dianjurkan sedikit tersenyum atau membiarkan geraham bawah kendor.
Banyak beberapa petunjuk / pedoman dalam melakukan teknik relaksasi ini, antara lain :

 PEDOMAN / CARA ( 1 ) :
Stewar (1976:959) menjelaskan teknik relaksasi sebagai berikut :
1. Pasien menarik napas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara
2. Perlahan-lahan udara dihembuskan sambil membiarkan tubuh menjadi kendor dan merasakan dan merasakan betapa nyaman hal tersebut
3. Pasien bernapas beberapa kali dengan irama normal
4. Pasien menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelan-pelan dan membiarkan hanya kaki dan telapak kaki yang kendor. Perawat minta pasien untuk mengkonsentrasikan pikiran pasien pada kakinya yang terasa ringan dan hangat
5. Pasien mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan pikiran pada lengan perut, punggung dan kelompok otot-otot yang lain
6. Setelah pasien merasa rileks, pasien dianjurkan bernapas secara pelan-pelan. Bila nyeri menjadi hebat, pasien dapat bernapas dangkal dan cepat.

 PEDOMAN / CARA ( 2 ) :
Latihan Relaksasi Progresif :
1. Kontraksikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan kemudian lemaskan
2. Lakukan latihan diruangan yang tenang dengan posisi duduk atau sambil berbaring yang nyaman
3. Lakukan latihan dengan musik yang santai, bila dikehendaki
4. Bawalah seseorang yang berlaku sebagai “pelatih” yang memberikan perintah untuk mengkontraksikan otot, menghitiung sampai 10 kali dan memerintahkan untuk melemaskan otot
5. Contoh latihan yang membantu bagi pasien PPOK
a. Mengangkat bahu, menurunkannya dan melemaskannya
b. Mengepalkan kedua tangan, mengepalkannya dengan kuat erat selama 5 detik, dan melemaskannya dengan sempurna.
6. Ada beberapa artikel dalam lieratur keperawatan mengenai teknik relaksasi; pembaca dianjurkan untuk merujuk Broussard, P : Using Relaxation for COPD, Am J Nurs 69:1962 – 1963, 1969; dan Richter, JM, and Sloan. R: A Relaxation Technique, Am J Nurs 79: 1960-1964, 1979

 PEDOMAN / CARA ( 3 ) :
Meningkatkan relaksasi khusus pada pasien dengan “Gangguan pola tidur” dapat berupa
1. Memberikan lingkungan yang gelap dan tenang
2. Memberikan kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen dan selimut
3. Memberikan ritual waktu tidur yang menyenangkan bila perlu
4. Pastikan ventilasi ruangan baik
5. Tutup pintu ruangan, bila klien menginginkan

PROSEDUR TERAPI INTRAVENA (IV)

oleh : erfandi


 Pengertian
Terapi intravena memberikan cairan tambahan yang mengandung komponen tertentu yang diperlukan tubuh secara terus menerus selama periode tertentu

 Tujuan
Adapun tujuan prosedur ini adalah untuk :
1. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh, elektrolit, vitamin, protein, kalori dan nitrogen pada klien yang tidak mampu mempertahankan masukan yang adekuat melalui mulut.
2. Memulihkan keseimbangan asam-basa.
3. Memulihkan volume darah.
4. Menyediakan saluran terbuka untuk pemberian obat-obatan.

 Jenis-jenis Cairan Intravena
1. Cairan bisa bersifat isotonis (contohnya ; NaCl 0,9 %, Dekstrosa 5 % dalam air, Ringer laktat / RL, dll)
2. Cairan bisa bersifat hipotonis (contohnya ; NaCl 5 %)
3. Cairan bisa bersifat hipertonis (contohnya ; Dekstrosa 10 % dalam NaCl, Dektrosa 10 % dalam air, Dektrosa 20 % dalam air)

A. PERALATAN
- Alas plastik dan handuk kecil
- Manset tangan; bisa juga digunakan manset sfigmomanometer
- Kapas alkohol
- Betadine (1-2 % dalam air, 70 % alkohol)
- Kain kasa steril
- Plester dan stiker kosong untuk menulis tanggal pemasangan infus
- Set infus
- Jarum infus (abbocath, wing needle/butterfly)
- Cairan infus
- Sarung tangan steril (jika memasang infus pada klien yang mengalami penyakit menular, seperti ; hepatitis B, HIV-B, AIDS, dll)

B. PROSEDUR
1. Mencuci tangan
2. Menjelaskan prosedur dan tujuannya (pada klien dan keluarga)
3. Memberikan posisi semi fowler atau terlentang
4. Menggulung lengan baju klien
5. Meletakkan manset 5 cm di atas siku
6. Menghubungkan cairan infus dengan set infus dan gantungkan (periksa label infus sesuai dengan program terapi cairan yang akan diberikan)
7. Mengalirkan cairan dengan selang menghadap ke atas sehingga udara didalamnya keluar
8. Mengencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan sampai pemasangan pada tangan disiapkan
9. Mengencangkan manset atau jika menggunakan sfigmomanometer, tekanan ditempatkan dibawah tekanan sistolik
10. Menganjurkan klien untuk mengepal dan membukanya beberapa kali, palpasi dan pastikan vena yang akan ditusuk. (kriteria vena / pembuluh darahnya lihat tabel. 1)
11. Membersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alkohol, lalu diulangi dengan menggunakan kasa betadine dan arahnya melingkar dari dalam keluar lokasi tusukan.
12. Menggunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena 5 cm diatas tusukan.
13. Memegang jarum dalam posisi 30 derajat sejajar vena yang akan ditusuk, lalu tusuk perlahan dan pasti.
14. Merendahkan posisi jarum sejajar kulit dan teruskan tusukan jarum ke dalam vena sampai terlihat darah mengalir keluar dari pembuluh darah.
15. Melepaskan tekanan manset
16. Sambungkan slang infus dengan kateter infus (abbocath, wing needle/butterfly) dan buka klem infus sampai cairan mengalir lancar.
17. Mengolesi dengan salep betadine di atas penusukan
18. Memfiksasi posisi jarum dengan plester, letakkan kasa steril diatasnya. Atur kasa steril pada lokasi jarum supaya berjendela agar mudah dievaluasi terhadap tanda-tanda inflamasi. Bila ada gunakan plester steril yang transparan.
19. Mengatur tetesan infus sesuai ketentuan; pasang stiker yang sudah diberi tanggal pada lokasi yang mudah terlihat.

 Hal-hal yang perlu diperhatikan ( kewaspadaan)
a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru
b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi
c. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain
d. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan
e. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir
f. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus
g. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu)

20. Mendokumentasikan waktu pemberian, jenis cairan dan tetesan, jumlah cairan yang masuk, waktu pemeriksaan kateter (terhadap adanya embolus), serta reaksi klien (terhadap cairan yang telah masuk

 Tempat/ lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan infus
Vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Vena-vena tersebut diantaranya adalah :
1. Metakarpal
2. Sefalika
3. Basilika
4. Sefalika mediana
5. Basilika mediana
6. Antebrakial mediana

 Pemilihan Vena
1. Vena tangan paling sering digunakn untuk terapi IV rutin
2. Vena lengan depan : periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat, sering digunakan untuk terapi rutin
3. Vena lengan atas : juga digunakan untuk terapi IV
4. Vena ekstremitas bawah : digunakan hanya menurut kebijakan institusi dan keinginan dokter
5. Vena kepala : digunakan sesuai dengan kebijakan institusi dan keinginan dokter ; sering dipilih pada bayi
6. Insisi : dilakukan oleh dokter untuk terapi panjang
7. Vena subklavia : dilakukan oleh dokter untuk terapi jangka panjang atau infus cairan yang mengiritasi (hipertonik)
8. Jalur vena sentral: digunakan untuk tujuan infus atau mengukur tekanan vena sentral
 Contoh Vena sentral adalah : v. subkalvia, v. jugularis interna/eksterna, v. sefalika atau v.basilika mediana, v. femoralis, dll.
9. Vena jugularis : biasanya dipasang untuk mengukur tekanan vena sentral atau memberikan nutrisi parenteral total (NPT) jika melalui vena kava superior.
10. Vena femoralis : biasanya hanya diguakan pada keadaan darurat tetapi dapat digunakan untuk penempatan kateter sentral untuk pemberian NTP.
11. Pirau arteriovena (Scribner) : implantasi selang palastik antara arteri dan vena untuk dialisis ginjal
12. Tandur (bovine) : anastomoisis arteri karotid yang berubah sifat dari cow ke sistem vena ; biasanya dilakukan pada lengan atas untuk dialisis ginjal
13. Fistula : anastomoisis bedah dari arteri ke vena baik end atau side to side untuk dialisis ginjal
14. Jalur umbilikal : rute akses yang biasa pada UPI neonatus

Tabel. 1. Pertimbangan dasar dalam pemilihan sisi (vena)
No Jenis Vena Keuntungan Kerugian
1. Vena Perifer • Cocok untuk kebanyakan obat dan cairan isotonik
• Cocok untuk terapi jangka pendek
• Biasanya mudah untuk diamankan • Tidak cocok untuk obat-obatan yang mengiritasi
• Tidak cocok untuk terapi jangka panjang
• Sukar untuk diamankan pada pasien yang agitasi
2. Vena Sentral • Cocok untuk obat-obatan yang mengiritasi atau cairan hipertonik
• Cocok untuk terapi jangka panjang • Obat-obatan harus diencerkan
• Resiko komplikasi yang berhubungan dengan pemasangan kateter vena sentral, seperti infeksi, hemothoraks, pneumothoraks.
• Tidak disukai karena bisa terganggu oleh pasien (namun masih mungkin)

 Faktor yang mempengaruhi pemilihan sisi (vena)
1. Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat penting dan mempengaruhi berapa lama IV berakhir.
2. Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima jenis terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan, pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun
3. Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, takbergerak, perubahan tingkat kesadaran
4. Jenis IV : jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering memaksa tempat-tempat yang optimum (mis, hiperalimentasi adalah sangat mengiritasi vena-vena perifer)
5. Durasi terapi IV : terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk memelihara vena; pilih vena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal (mis, mulai di tangan dan pindah ke lengan)
6. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada ,pemilian sisi dan rotasi yang berhati – hati menjadi sangat penting ; jika sedikit vena pengganti ( mis ,pemasangan kateter broviac atau hickman atau pemasangan jalur PICC )
7. Terapi Ivsebelumnya :flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk di gunakan ; kometerapi sering membuat vena menjadi buruk (mis,mudah pecah atau sklerosis )
8. Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang terkena pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat (mis, pasien mastektomi ) tanpa izin dari dokter .
9. Sakit sebelumnya :jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada pasien dengan stroke .
10. Kesukaan pasien : jika mungkin ,pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi .

 Perhitungan Tetesan Infus
1. Tetesan Makro : 1cc = 15 tetes
• Rumus :
Tetesan/menit = Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Lamanya infus (jam) x 4

2. Tetesan Mikro : 1cc = 60 tetes
• Rumus :
Tetesan/menit = Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Lamanya infus (jam)



Tabel. 2. Kriteria pemilihan pembuluh darah (vena)
 Gunakan cabang vena distal (vena bagian proksimal yang berukuran lebih besar kan bermanfaat untuk keadaan darurat)
 Pilihan vena :
- vena metakarpal (memudahkan pergerakan tangan)
- vena basilika / sefalika
- vena fosa antekubital, medianna basilika atau sefalika untuk pemasangan infus yang singkat saja
 Pada klien dewasa, vena yang terdapat pada ekstremitas bagian bawah hanya digunakan sebagai pilihan terakhir.

ANEMIA PADA IBU HAMIL

A. DEFINISI ANEMIA
Anemia pada wanita tidak hamil didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang kurang dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Konsentrasi hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan, pada awal kehamilan dan kembali menjelang aterm, kadar hemoglobin pada sebagian besar wanita sehat yang memiliki cadangan besi adalah 11g/dl atau lebih. Atas alasan tersebut, Centers for disease control (1990) mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl pada trimester pertama dan ketiga, dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua (Suheimi, 2007).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit.

B. PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA KEHAMILAN
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron.

C. ETIOLOGI ANEMIA PADA KEHAMILAN
Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu:
a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b. Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c. Kurangnya zat besi dalam makanan.
d. Kebutuhan zat besi meningkat.
e. Gangguan pencernaan dan absorbsi.

D. GEJALA KLINIS
Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.

E. DERAJAT ANEMIA
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl, kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.
Klasifikasi anemia yang lain adalah :
a. Hb 11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7 – 8 gr%: Anemia sedang
d. Hb < 7 gr% : Anemia berat.

F. DAMPAK ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI PADA KEHAMILAN
Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.
Dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infek¬si dan stress kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian peri¬natal, dan lain-lain)

G. PENGOBATAN ANEMIA
Pengobatan anemia biasanya dengan pemberian tambahan zat besi. Sebagian besar tablet zat besi mengandung ferosulfat, besi glukonat atau suatu polisakarida. Tablet besi akan diserap dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan. Biasanya cukup diberikan 1 tablet/hari, kadang diperlukan 2 tablet. Kemampuan usus untuk menyerap zat besi adalah terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih besar adalah sia-sia dan kemungkinan akan menyebabkan gangguan pencernaan dan sembelit. Zat besi hampir selalu menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping yang normal dan tidak berbahaya

H. PENCEGAHAN ANEMIA
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, kacang polong, serta kacang-kacangan. Perlu diperhatikan bahwa zat besi yang terdapat pada daging lebih mudah diserap tubuh daripada zat besi pada sayuran atau pada makanan olahan seperti sereal yang diperkuat dengan zat besi.
Anemia juga bisa dicegah dengan mengatur jarak kehamilan atau kelahiran bayi. Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan, akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar jarak antar kehamilan tidak terlalu pendek, minimal lebih dari 2 tahun.

METODE AKDR / IUD

A. DEFINISI
IUD (Intra Uterine Device) adalah alat kontrasepsi yang disisipkan ke dalam rahim, terbuat dari bahan semacam plastik, ada pula yang dililit tembaga, dan bentuknya bermacam-macam. Bentuk yang umum dan mungkin banyak dikenal oleh masyarakat adalah bentuk spiral. Spiral tersebut dimasukkan ke dalam rahim oleh tenaga kesehatan (dokter / bidan terlatih). Sebelum spiral dipasang, kesehatan ibu harus diperiksa dahulu untuk memastikan kecocokannya. Sebaiknya IUD ini dipasang pada saat haid atau segera 40 hari setelah melahirkan (Subrata, 2000:33).
IUD atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) bagi banyak kaum wanita merupakan alat kontrasepsi yang terbaik. Alat ini sangat efektif dan tidak perlu diingat setiap hari seperti halnya pil. Bagi ibu yang menyusui, AKDR tidak akan mempengaruhi isi, kelancaran ataupun kadar air susu ibu (ASI). Karena itu, setiap calon pemakai AKDR perlu memperoleh informasi yang lengkap tentang seluk-beluk alat kontrasepsi ini (Maryani, 2002).

B. JENIS AKDR / IUD
Maryani (2002) menyebutkan jenis alat kontrasepsi dalam rahim / IUD yang sering digunakan di Indonesia antara lain:
a. Copper-T
AKDR berbentuk T, terbuat dari bahan polyethelen di mana pada bagian vertikalnya diberi lilitan kawat tembaga halus. Lilitan kawat tembaga halus ini mempunyai efek antifertilisasi (anti pembuahan) yang cukup baik.
b. Copper-7
AKDR ini berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan pemasangan. Jenis ini mempunyai ukuran diameter batang vertikal 32 mm dan ditambahkan gulungan kawat tembaga (Cu) yang mempunyai luas permukaan 200 mm2, fungsinya sama seperti halnya lilitan tembaga halus pada jenis Coper-T.
c. Multi Load
AKDR ini terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Panjangnya dari ujung atas ke bawah 3,6 cm. Batangnya diberi gulungan kawat tembaga dengan luas permukaan 250 mm2 atau 375 mm2 untuk menambah efektivitas. Ada 3 ukuran multi load, yaitu standar, small (kecil), dan mini.
d. Lippes Loop
AKDR ini terbuat dari bahan polyethelene, bentuknya seperti spiral atau huruf S bersambung. Untuk meudahkan kontrol, dipasang benang pada ekornya. Lippes Loop terdiri dari 4 jenis yang berbeda menurut ukuran panjang bagian atasnya. Tipe A berukuran 25 mm (benang biru), tipe B 27,5 mm 9 (benang hitam), tipe C berukuran 30 mm (benang kuning), dan 30 mm (tebal, benang putih) untuk tipe D. Lippes Loop mempunyai angka kegagalan yang rendah. Keuntungan lain dari spiral jenis ini ialah bila terjadi perforasi jarang menyebabkan luka atau penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan plastik.

C. EFEKTIFITAS
Sebagai kontrasepsi, AKDR tipe T efektifitasnya sangat tinggi yaitu berkisar antara 0,6 – 0,8 kehamilan per 100 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalam 125 – 170 kehamilan). Sedangkan AKDR dengan progesteron antara 0,5 – 1 kehamilan per 100 perempuan pada tahun pertama penggunaan (Saifuddin, 2003:MK-62,73).

D. CARA KERJA
Cara kerja dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut:
a. Menghambat kemampuan sperma masuk ke tuba falopii
b. Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri
c. IUD bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun IUD membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi
d. Memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.

E. KEUNTUNGAN
Keuntungan dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut:
a. Sebagai kontrasepsi, efektifitasnya tinggi
b. IUD (AKDR) dapat efektif segera setelah pemasangan
c. Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak perlu diganti)
d. Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat
e. Tidak mempengaruhi hubungan seksual
f. Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk hamil
g. Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A)
h. Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
i. Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apabila tidak terjadi infeksi)
j. Dapat digunakan sampai menopause (1 tahun lebih setelah haid terakhir)
k. Tidak ada interaksi dengan obat-obat
l. Membantu mencegah kehamilan ektopik.

F. EFEK SAMPING DAN KERUGIAN
Adapun kerugiannya adalah sebagai berikut:
a. Efek samping yang umum terjadi:
- Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan akan berkurang setelah 3 bulan)
- Haid lebih lama dan banyak
- Perdarahan (spotting) antarmenstruasi
- Saat haid lebih sakit
b. Komplikasi lain:
- Merasakan sakit dan kejang selama 3 – 5 hari setelah pemasangan
- Perdarahan berta pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan penyebab anemia
- Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar)
c. Tidak mencegah IMS termasuk HIV / AIDS
d. Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering berganti pasangan
e. Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai AKDR. Penyakit radang panggul memicu infertilitas
f. Prosedur medis, termasuk pemeriksaan plevik diperlukan dalam pemasangan AKDR. Seringkali perempuan takut selama pemasangan
g. Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasangan AKDR. Biasanya menghilang dalam 1 – 2 hari
h. Klien tidak dapat melepas AKDR sendiri
i. Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi apabila AKDR dipasang segera setelah melahirkan)
j. Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi AKDR untuk mencegah kehamilan normal
k. Perempuan harus memeriksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu. Untuk melakukan ini perempuan harus memasukkan jarinya ke dalam vagina, sebagian perempuan tidak mau melakukan ini.

G. PERSYARATAN PEMAKAIAN
a. Yang Dapat Menggunakan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang akan memilih AKDR (IUD) adalah:
1) Usia reproduktif
2) Keadaan nulipara
3) Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang
4) Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
5) Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
6) Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi
7) Resiko rendah dari IMS
8) Tidak menghendaki metode hormonal
9) Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari
10) Tidak menghendaki kehamilan setelah 1 – 5 hari senggama
Pada umumnya seorang ibu dapat menggunakan AKDR dengan aman dan efektif. AKDR juga dapat digunakan pada ibu dalam segala kemungkinan keadaan, misalnya:
1) Perokok
2) Pasca keguguran atau kegagalan kehamilan apabila tidak terlihat adanya infeksi
3) Sedang memakai antibiotika atau antikejang
4) Gemuk ataupun kurus
5) Sedang menyusi
Begitu juga ibu dalam keadaan seperti di bawah ini:
1) Penderita tumor jinak payudara
2) Penderita kanker payudara
3) Pusing-pusing, sakit kepala
4) Tekanan darah tinggi
5) Varises di tungkai atau di vulva
6) Penderita penyakit jantung (termasuk penyakit jantung katup dapat diberi antibiotika sebelum pemasangan AKDR)
7) Pernah menderita stroke
8) Penderita diabetes
9) Penderita penyakit hati atau empedu
10) Malaria
11) Skistosomiasis (tanpa anemia)
12) Penyakit tiroid
13) Epilepsi
14) Nonpelvik TBC
15) Setelah kehamilan ektopik
16) Setelah pembedahan pelvic.

b. Yang Tidak Diperkenankan Menggunakan
Ada beberapa ibu yang dianggap tidak cocok memakai kontrasepsi jenis IUD ini. Ibu-ibu yang tidak cocok itu adalah mereka yang menderita atau mengalami beberapa keadaan berikut ini:
1) Kehamilan
2) Penyakit kelamin (gonorrhoe, sipilis, AIDS, dsb)
3) Perdarahan dari kemaluan yang tidak diketahui penyebabnya
4) Tumor jinak atau ganas dalam rahim
5) Kelainan bawaan rahim
6) Penyakit gula (diabetes militus)
7) Penyakit kurang darah
8) Belum pernah melahirkan
9) Adanya perkiraan hamil
10) Kelainan alat kandungan bagian dalam seperti: perdarahan yang tidak normal dari alat kemaluan, perdarahan di leher rahim, dan kanker rahim
11) Ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm.

H. CARA PEMASANGAN
Prinsip pemasangan adalah menempatkan AKDR setinggi mungkin dalam rongga rahim (cavum uteri). Saat pemasangan yang paling baik ialah pada waktu mulut peranakan masih terbuka dan rahim dalam keadaan lunak. Misalnya, 40 hari setelah bersalin dan pada akhir haid. Pemasangan AKDR dapat dilakukan oleh dokter atau bidan yang telah dilatih secara khusus. Pemeriksaan secara berkala harus dilakukan setelah pemasangan satu minggu, lalu setiap bulan selama tiga bulan berikutnya. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan setiap enam bulan sekali (Herti Maryani, 2002).

H. KENDALA PEMAKAIAN
Selain karena efek samping / kerugian pemakaian serta kontraindikasi penggunaan IUD, beberapa kendala yang sering dijumpai di lapangan sehingga masyarakat masih enggan menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR ini antara lain :
1) Pengetahuan / pemahaman yang salah tentang IUD
Kurangnya pengetahuan pada calon akseptor sangat berpengaruh terhadap pemakaian kontrasepsi IUD. Dari beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala pengetahuan dari wanita kurang maka penggunaan kontrasepsi terutama IUD juga menurun. Jika hanya sasaran para wanita saja yang selalu diberi informasi, sementara para suami kurang pembinaan dan pendekatan, suami kadang melarang istrinya karena faktor ketidaktahuan dan tidak ada komunikasi untuk saling memberikan pengetahuan.

2) Pendidikan PUS yang rendah
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan pasangan suami - istri yang rendah akan menyulitkan proses pengajaran dan pemberian informasi, sehingga pengetahuan tentang IUD juga terbatas.

3) Sikap dan Pandangan negatif masyarakat
Sikap ini juga berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan seseorang. Banyak mitos tentang IUD seperti dapat mengganggu kenyamanan hubungan suami-istri, mudah terlepas jika bekerja terlalu keras, menimbulkan kemandulan, dan lain sebagainya.

4) Sosial budaya dan ekonomi
Tingkat ekonomi mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi. Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi yang diperlukan akseptor harus menyediakan dana yang diperlukan. Walaupun jika dihitung dari segi keekonomisannya, kontrasepsi IUD lebih murah dari KB suntik atau pil, tetapi kadan orang melihatnya dari berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali pasang. Kalau patokannya adalah biaya setiap kali pasang, mungkin IUD tampak jauh lebih mahal. Tetapi kalau dilihat masa / jangka waktu penggunaannya, tentu biaya yang harus dikeluarkan untuk pemasangan IUD akan lebih murah dibandingkan KB suntik ataupun pil. Untuk sekali pasang, IUD bisa aktif selama 3 - 5 tahun, bahkan seumur hidup / sampai menopause. Sedangkan KB Suntik atau Pil hanya mempunyai masa aktif 1-3 bulan saja, yang artinya untuk mendapatkan efek yang sama dengan IUD, seseorang harus melakukan 12-36 kali suntikan bahkan berpuluh-puluh kali lipat.



REFERENSI :

Saifuddin, AB. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

MENGENAL KONTRASEPSI

A. DEFINISI
Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/ mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma.

B. TUJUAN KONTRASEPSI
Dalam menggunakan kontrasepsi, keluarga pada umumnya mempunyai perencanaan atau tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu menunda / mencegah kehamilan, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan / mengakhiri kehamilan atau kesuburan. Secara skematis, pola perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi yang rasional dijelaskan seperti Gambar 2.1.













Prioritas kontrasepsi:
1. Pil
2. IUD-mini
3. Metode sederhana Prioritas kontrasepsi:
1. IUD
2. Suntik
3. Mini Pil
4. Pil
5. Implant
6. Metode sederhana Prioritas kontrasepsi:
1. IUD
2. Suntik
3. Mini Pil
4. Pil
5. Implant
6. Sederhana
7. Kontap Prioritas kontrasepsi:
1. Kontap
2. IUD
3. Implant
4. Suntikan
5. Sederhana
6. Pil

Gambar 2.1 Perencanaan Penggunaan Kontrasepsi

Menunda kehamilan dianjurkan bagi PUS dengan usia istri kurang dari 20 tahun. Untuk menunda, metode pilihan prioritas adalah pil oral. Penggunaan kondom kurang menguntungkan, karena pasangan muda masih tinggi frekuensi sanggamanya. Jika terdapat kontraindikasi pil oral, sangat cocok untuk dianjurkan menggunakan IUD-mini. Kontrasepsi yang dianjurkan tersebut mempunyai reversibilitas yang tinggi, artinya kesuburan kembali dapat terjamin hampir 100%, karena pada saat ini peserta belum mempunyai anak
Tujuan menjarangkan kehamilan biasanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang berusia antara 20 – 35 tahun, dengan jumlah anak yang diharapkan 2 orang, dan jarak antara kelahiran 2 – 4 tahun. Fase menjarangkan kehamilan dilakukan biasanya segera setelah anak pertama lahir. Kegagalan yang menyebabkan kehamilan cukup tinggi, namun tidak terlalu berbahaya karena yang bersangkutan berada pada masa mengandung dan melahirkan yang baik. Kontrasepsi yang diperlukan pada fase ini adalah yang efektifitasnya cukup tinggi, mempunyai reversibilitas cukup tinggi karena peserta masih mengarapkan punya anak lagi. Kontrasepsi pilihan sebaiknya dapat digunakan 2 – 4 tahun sesuai dengan perencanaan jarak kehamilan, serta tidak menghambat air susu ibu (ASI), karena biasanya ibu masih menyusui anak pertama, dan ASI merupakan makanan terbaik bayi sampai usia 2 tahun.
Fase menghentikan atau mengakhiri kesuburan dilakukan pada periode usia istri 30 tahun, terutama 35 tahun ke atas. Menghentikan kesuburan dilakukan setelah mempunyai dua orang anak. Pilihan utama adalah metode kontrasepsi mantap. Pil oral kurang dianjurkan karena usia ibu relatif tua dan mempunyai keumungkinan banyak efek samping dan komplikasi. Syarat kontrasepsi pilihan adalah mempunyai efektivitas yang sangat tinggi, dapat dipakai untuk jangka waktu yang lama, serta tidak menambah kelainan yang sudah ada. Pada masa usia tua kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi, keganasan dan kelainan metabolik biasanya meningkat. oleh karena itu, sebaiknya tidak diberikan kontrasepsi yang menambah kelainan tersebut.

C. BEBERAPA MACAM METODE KONTRASEPSI
a. Pil KB
Pil menghasilkan hormon estrogen dan progesterone buatan, yang cara kerjanya menyerupai hormon alami yang diproduksi oleh tubuh setiap bulan. Estrogen akan mencegah produksi sel telur (ovum) dari ovarium, sehingga pembuahan tidak terjadi. Mini-pil biasanya hanya mengandung progesterone. Efektifitas metode ini adalah 99% untuk pil kombiniasi dan 86% untuk mini pil. Keuntungan metode Pil ini antara lain mengurangi risiko kanker uterus, ovarium serta radang panggul. Kontrasepsi Pil juga mengurangi sindroma pra menstruasi, jerawat, perdarahan, anemia, kista ovarium, dan nyeri payudara. Penggunaan Pil memungkinkan siklus menstruasi lebih teratur, serta tidak mengganggu aktifitas seksual. Mini pil dapat dikonsumsi saat menyusui.

b. Implant / KB Susuk
Sama dengan pil kecuali susuk ditanamkan di dalam kulit, biasanya di lengan atas. Implan mengandung progesterone yang akan terlepas secara perlahan dalam tubuh. Efektifits mencapai 99 %. Keuntungan dari metode implant ini antara lain tahan sampai 5 tahun atau sampai diambil. Kesuburan akan kembali segera setelah pengangkatan. Pencegahan kehamilan terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemasangan. Metode ini juga dapat melindungi wanita dari kanker rahim, aman digunakan setelah melahirkan dan menyusui, serta tidak mengganggu aktivitas seksual.

c. Suntik KB
Cara kerja sama dengan pil. Efektifitasnya mencapai 99%. Keuntungan metode ini antara lain disuntikkan setiap tiga bulan sekali, efektif, tahan lama, melindungi akseptor terhadap kanker rahim. Aman digunakan setelah melahirkan dan saat menyusui. KB suntik juga dapat mengurangi kram saat menstruasi, dan tidak mengganggu aktivitas seksual.

d. Kondom
Cara kerjanya adalah mencegah sperma mencapai serviks (leher rahim). Efektivitas mencapai 80-90% (dapat meningkat jika digunakan bersama spermisida). Keuntungan metode ini antara lain tidak memerlukan resep, melindungi terhadap beberapa penyakit akibat hubungan seksual, serta aman, kesuburan segera pulih setelah tidak memakai kondom lagi.

e. Tubektomi
Tuba fallopi (pembawa sel telur ke rahim) dipotong dan diikat dengan teknik yang disebut kauter, atau dengan pemasangan klep atau cicin silastik.
Efektivitasnya mencapai 99%. Keuntungannya antara lain aman bagi kesehatan setelah prosedur dilakukan, serta tidak mengganggu hubungan intim. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan operasi bedah. Prosedur ini hanya untuk pasangan yang sudah memutuskan untuk tidak akan punya anak lagi.

f. Vasektomi
Saluran vaas deferens yang berfungsi mengangkut sperma dipotong/diikat, sehingga aliran sperma dihambat tanpa mempengaruhi jumlah cairan semen. Jumlah sperma hanya 5% dari cairan ejakulasi. Cairan semen diproduksi dalam vesika seminalis dan prostat sehingga tidak akan terganggu oleh vasektomi. Efektivitasnya mencapai 99% lebih. Keuntungannya adalah tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual, produksi hormon. Kelemahannya sama dengan tubektomi.

g. Intra Uterine Device
Cara kerjanya adalah mencegah kehamilan dengan mempengaruhi pergerakan sperma atau implantasi sel telur yang telah dibuahi dalam dinding rahim. Ada 2 jenis IUD: berisi progesterone dan berisi tembaga berbentuk T. Efektivitas metode IUD ini berkisar antara 97 – 99%. Keuntungannya antara lain membutuhkan sedikit perhatian (hanya pemeriksaan benang setiap bulan). Kesuburan biasanya segera kembali setelah melepas IUD. Metode ini tidak mengganggu aktivitas seksual dan aman digunakan selama menyusui. IUD bentuk T hanya perlu diganti dalam waktu 10 tahun, IUD progesterone sebaiknya diganti setahun sekali.

ASMA BRONKIAL

1. Pengertian
a. Asthma Bronkiale
Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap bebagai macam rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya dapat berubah secara sepontan atau setelah mendapat pengobatan.
b. Status Astmatikus
Status Asthmatikus merupakan serangan asthma berat yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik ,bila tidak diatasi dengan cepat akan terjadi gagal pernafasan.

2. Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
a. Anatomi dan fisiologi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.
Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring,trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epiotel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang sisekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembulu darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapanya mencapai 100%.
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat follikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubaungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukusa,
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yamg terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang . Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tianggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan menurunan tekanan intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekita –8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun –2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru
Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli
Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah. Oksigen dapat masik ke jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikata dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah
Fungsi sebagain pengaturan keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 – 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 – 7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun tambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan Pa CO2 turun akibat hiper ventilasi

3. Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yangsangat lanjut.
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain.
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia.

4. Penatalaksanaan
Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.

2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol (Alupent, metrapel).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol (beclometason dipropinate) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator.

3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.

5. Dampak masalah
a. Pada klien
Penderita asthma harus merubah gaya hidup sehari-hari untuk menghindari faktor pencetus. Perubahan ini dimulai dari lingkungan hidup sanpai dengan lingkungan kerja. Pada klien dengan serangan asthma, maka terjadi penurunan nafsu makan, minum sehingga mempengarui status nutrisi klien. Dalam istirahat klien sangat terganggu sehingga dapat menyebabkan kelelahan. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan oksigen mempengarui toleransi dalam melakukan aktivitas, kelelahan cepat lelah dan ketidak mampuan memenuhi ADL. Klien dapat tumbuh dan berkembang menjadi rendah diri, merasa tidak mampu, berkepribadian labil,mudah tersinggung,gelisah dan cemas. Adanya keterbatasan aktifitas, klien lebih tergantung pada orang lain, terkadang klien tidak dapat berperan sesuai dengan peranya, (Antony C. 1997 ; Tjen daniel, 1991).
b. Pada keluarga
Melihat kondisi klien dengan gejala asthma dan dirawat dirumah sakit, tentang penyebab, prognosa penyakit dan keberhasilan dari terapi, akan menimbulkan kecemasan pada keluarga. Perlunya klien dirawat dirumahsakit menimbulkan respon kehilangan pada keluarga yang ditinggalkan. Peran klien dalam keluarga sebagai sumber ekonomi akan terganggu karena klien tidak bisa masuk kerja serta perawatan dan biaya rumah sakit yang tidak sedikit akan menjadi beban bagi keluarga.

GANGGUAN KESADARAN

1. PENDAHULUAN
Fungsi kesadaran menyangkut :
- tingkat kesadaran
- isi kesadaran

2. BATASAN
Kesadaran yang utuh adalah suatu keadaan individu sadara akan dirinya dan lingkungannya menghadapi stimulasi yang adekuat.
Kesadaran yang utuh tergantung dari integritas dan interaski antara :
- ARAS (Ascending Reticuler Activating System)  kumpulan substansia drisea di bagian sentral batang otak bagian rostral mulai dari mielum samapai di subthalamus, menentukan tingkat kesadaran  WAKEFULLNESS-ARAOUSEL/KETERJAGAAN (keadaan yg. berhub. dengan respon E, V dan M.
- Korteks di hemisfer serebri kiri yang utuh, merupakan substract anatomis untuk kebanyakan komponen psikologik yang khusus, berbahasan, ingatan, intelek dan tanggapan proses pembelajaran. Dalam mekanismenya digiatkan oleh thalamus, hipotalamus, mesensefalon, tegmentum pontis bagian rostral.

Fungsi luhur/kortikal luhur/higher cortical function adalah kemampuan otak untuk berinteraksi dengan sekitarnya.
5 komponen fungsi luhur :
- Kemampuan berbahasa
- daya ingat
- pengenalan visuospasial
- emosi, dan kepribadian

Bentuk sindroma hemisfer, kanan dan kiri :
KIRI KANAN
Afasia (berbahasa)
Aleksia (membaca)
Agrafia (menulis)
Akalkulasi (menghitung)
Apraksia (gerakan motorik yang kompleks) Pengabaian (neglect)
Visuospasial (persepsi)
- pengenalan tempat
- Pengenalan wajah
Visuomotor
- membuat kontruksi
- berpakaian
Afek dan prosodi

Kebingungan/confusion/kesadaran berkabut gangguan kapasitas berfikir, mengerti, dan berespon dan mengingat kembali respon yang diterimanya, sehingga kehilangna kemampuan untuk berfikir jernih, gangguan dalam membuat keputusan.

Menurut Sukardi, Boss keadaan bingung dibagi menjadi :
Disoroentasi
Permulaan kehilangan kesadran, disorientasi (waktu,. tempat, orang), gangguan memori
Lethargi Keterabatasan pembicaraan, gerakan motorik spontan, dapat dibangungkan dengan pembicaran dna perabaan normal, dapat/tidak disorientasi.
Obtudation Kesadaran yg tumpul, keterbatsan keterjagaan, acuh thd lingkungan, mudah tertidur, kecuali dirangsangan secara verbal/perabaan, menjawab pertanyaan dengan seminimal mungkin.
Delirium Ketidaktenangan motorik, halusinasi, disorientasi, delusi/waham. ketakutan dna mudah terasangsang, kelainan metabolik/toksik, impending coma.
Stupor Tidur yang dalam, tidak responsif, hanya dapat dinagunkan /jawaban motorik/verbal dengan rangsangan yang kuat dan berulang, respon menghindara/memegang rasngangan tersebut.
Koma Hilangnya kesadaran, tampak seperti tidur, tidak berespon terhadap rangsangan eksternal
Keadaan Vegetatif Bernafas spontan, sirkulasi nomral, siklue membukan dan menutup mata seperti tidur, tapi tidak tanggap lingkungan, sepintas penyembuhan dari keadaan koma dan menetap sampai akhir kematian.
Kelainan difus bilateral pada korteks serebri dengan BO, trauma kapitis, hipoksik-eskemia,



PSYCHONEPHIC UNRESPONSIVENESS  keadaan tidak sadar/koma, tetapi sebetulnya tidak.

Caranya : tes okulovestibuler, nistagmus menunjukkan bahwa tidak dalam keadaan tidak sadar.


3. KEADAAN YANG MENYEBABKAN GANGGUAN KESADARAN

Plum F dan Saper CB membagi gangguan kesadaran menjadi 3 bagian :

a. Gangguan tingkat kesadaran
- Lesi distruktif yang mempengaruhi mekanisme kesadaran
 Keruskan difus bilateral otak bagian depan
 kerusakan disensefalon
 kerusakan midbrain atas
- Lesi kompresi yang mempengaruhi mekanisme kesadaran
 hidrosefalus
 herniasi central
 herniasi unkus
 herniasi ke atas masa di ensephalon
 kompresi pons akibat masa diserebral

b. Gangguan isi kesadaran
- anterograde amnesia
- afasia
- apraksia
- defisit spasial (amorfosintesis)
- gangguan perhatian

c. Gangguan kesadaran umum (general disorders of conciousness)
- encephalopati akut
 penyakit multifaktorial
 penyakit metabolik difus
- encephalo kronis
 retardasi mental
 demensia
 persistent vegetative state

4. MEKANISME KESADARAN DAN GANGGUAN KESADARAN

Proses supratentorial dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran :
1) Disfungsi difus kortikal dari korteks serebri, seperti ensefalitis, neoplasma, trauma kepala tertutup dengan peradrahan, empiema subdural (akumulasi nanah) Intra serebral (perdarahan, infark, emboli dan tumor)
2) Disfungsi subkortikal bilateral seperti, trauma batang otak, GPDO.
3) Kelainan okal hemesfer sereberi dsiebabkan masa yang menjepit, menekan struktur bagian dalam disensefalon, herniasi mengganggu thalamus dan activating hipotalammus.

Proses infratentorial  penurunan kesadaran :
1) destruksi langsung pada ARAS
2) BO rusak akibat invasi langsung (GPDO, demeilinasasi, neoplasma, granuloma, abses trauma kapitis) /tidak langsung
3) Kompressi ARAS :
- tekanan langsung pada pons dan midbrain  iskemia dan edema neuron
- Herniasi ke atas serebelum menekan atas dari midbrain dan diensefalon
- herniasi ke bawah melalui foramen magnum, menekan dan menggeser MO.

Manifestasi klini dan evaluasi , melalu pemeriksaan :
1. pemeriksaan TTV
2. Pemeriksaan interne
3. Pemeriksaan neurologik
- derajat kesadaran
- pola pernafasan
- ukuran dan reaksi pupil
- posisi bola mata
- refleks batang otak
- respon motorik
4. Pemeriksaan tambahan
- laboratorium
- radiologi
- neurofisiologik klinik
- neuroperilaku

PERITONITIS

PENGERTIAN
Peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa.

ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
• Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal, misalnya :
• Appendisitis yang meradang dan perforasi
• Tukak peptik (lambung / dudenum)
• Tukak thypoid
• Tukan disentri amuba / colitis
• Tukak pada tumor
• Salpingitis
• Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus  dan  hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.

2. Secara langsung dari luar.
• Operasi yang tidak steril
• Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
• Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa.
• Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.

3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.



GEJALA DAN TANDA
• Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis umum.
• Demam
• Distensi abdomen
• Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitis.
• Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya.
• Nausea
• Vomiting
• Penurunan peristaltik.

PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan iskemia, trauma atau perforasi tumor, peritoneal diawali terkontaminasi material.
Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edem jaringan dan pertambahan eksudat. Caiaran dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.

TEST DIAGNOSTIK
1. Test laboratorium
• Leukositosis
• Hematokrit meningkat
• Asidosis metabolik

2. X. Ray
• Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
• Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
• Usus halus dan usus besar dilatasi.
• Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
PROGNOSIS
• Mortalitas tetap tinggi antara 10 % - 40 %.
• Prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam.
• Lebih cepat diambil tindakan lebih baik prognosanya.

TRAUMA ABDOMEN

OLEH : ERFANDI


Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih merupakan tantangan bagi ahli klinik.

Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait.

PATOFISIOLOGI
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga. (Sorensen, 1987)

Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen adalah :
- Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.

- Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk menghentikan perdarahan tersebut.
Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam taraf pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai pedoman untuk menentukan limpa robek (ruptur lienalis) adalah :
• Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
• Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
• Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10 garis aksiler depan kiri.

DIAGNOSTIK
- Riwayat
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha resusitasi.

- Penemuan
Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal menimbulkan rasa nyeri tekan, dan rigiditas otot, pada daerah terjadinya rembesan darah atau isi perut. Tanda-tanda ini dapat belum timbul hingga 12 jam atau lebih pasca trauma, sehingga kadanga-kadang diperlukan pengamatan yang terus-menerus yang lebih lama. Nyeri yang berasal dari otot dan tulang, mungkin malah tak terdapat tanda-tanda objektif yang dapat menunjukan perlukaan viseral yang luas. Fraktur pada iga bagian bawah sering kali menyertai perlukaan pada hati dan limpa. Pemeriksaan rektum secaga digital, dapat menimbulkan adanya darah pada feses

- Test Laboratorium
Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis, sedangkan test lainnya dilakukan bila diperlukan. Nilai-nilai amilase urine, dan serum dapat membantu untuk menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforasi usus.

- Foto Sinar X
• Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya udara bebas intraperitoneal, obliterasi bayangan psoas, dan penemuan-penemuan lainnya yang pada umunya tak khas. Fraktur prosesus transversalis menunjukan adanya trauma hebat, dan harus mengingatkan kita pada kemungkinan adanya perlukaan viseral yang hebat.
• Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga, hematotorak, pnemotorak, atau lainnya yang berhubungan dengan perlukaan thorak
• Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan foto thorak sinar X tengkorak, pelvis, dan anggota gerak lainnya.
• Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila terdapat hematuria.
• Foto sinar X dengan kontras pada saluran pencernaan atas dan bawah, diperlukan pada kasus tertentu.
• C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa kasus, tetapi inibelim banyak dilakukan.
• Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang perlukaan pada limpa, hati, dan pakreas. Pada kenyataanya, angiografi abdominal jarang dilakukan.

- Test Khusus
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada suatu trauma tumpul, bila dengan pemeriksaan fisik dan radilogik, diagnosa masih diragukan. Test ini tak boleh dilakukan pada penderita yang tak kooperatif, melawan dan yang memerlukan operasi abdomen segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi panderita terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tingtur dan infiltrasi anestesi lokal di garis tengah, diantara umbilikus dan pubis. Kemudian dibuat insisi kecil, kateter dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Ini dapat dibantu/dipermudah oleh otot-otot
abdomen penderta sendiri, dengan jalan meikan kepala penderita. Kateter ini harus dipegang dengan kedua tangan, untuk mencegah tercebur secara acak ke dalam rongga abdomen.
Tehnik yang lebih aman adalah dengan membuat insisi sepanjang 1 cm pada fasia, dan kateter di masukkan ke dalam rongga peritoneal dengan pengamatan secara langsung. Pisau ditarik dan kateter dimasukkan secara hati-hati ke pelvis ke arah rongga sakrum. Adanya aliran darah secara spontan pada kateter menandakan adanya perdarahan secara positif. Tetapi ini jarang terjadi. Masukan 1000 cc larutan garam fisiologis ke dalam rongga peritoneal (jangan larutan dextrose), biarkan cairan ini turun sesuai dengan gaya grvitasi. Adanya perdarahan intraabdominal ditandai dengan warna merah seperti anggur atau adanya hematokrit 1% atau lebih pada cairan tersebut (cairan itu keluar kembali). Bila cairan tetap, bening atau hanya sedikit berubah merah tandanya negatif.

PENATALAKSANAAN
1. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya. Jika penderita dalam keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan selain pemberantasan syok (operasi)
2. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma tumpul bila ada persangkaan perlukaan intestinal.
3. Luka tembus merupakan indikasi dilakukannya tindakan laparatomi eksplorasi bila ternyata peritonium robek. Luka karena benda tajam yang dangkal hendaknya diekplorasi dengan memakai anestesi lokal, bila rektus posterior tidak sobek, maka tidak diperlukan laparatomi.
4. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan hebat yang meragukan kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan abdomen lainnya memerlukan pembedahan.
5. Laparatomi
• Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung. Gumpalan kassa dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari daerah tertentu, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber perdarahan itu sendiri
• Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan bagian usus yang terperforasi tadi dengan mengklem segera mungkin setelah perdarahan teratasi.
• Melalui ekplorasi yang seksama amati dan teliti seluruh alat-alat di dalamnya. Korban trauma tembus memerlukan pengamatan khusus terhadap adanya kemungkinan perlukaan pada pankreas dan duodenum.
• Hematoma retroperitoneal yang tidak meluas atau berpulsasi tidak boleh dibuka.
• Perlukaan khusus perlu diterapi
• Rongga peritoneal harus dicuci dengan larutan garam fisiologis sebelum ditutup
• Kulit dan lemak subcutan dibiarkan terbuka bila ditemukan kontaminasi fekal, penutupan primer yang terlambat akan terjadi dalam waktu 4 - 5 hari kemudian.

TUBERCOLUSIS PARU

oleh : ERFANDI


A. Definisi.
Tuberkolosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru- paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis

B. Etiologi.
Jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 m, dan tebal antara 0,3 – 0,6 m. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman ini tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap fisik dan kimiawi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru, daerah ini menjadi prediksi pada penyakit paru.

C. Patofisiologi.
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektorya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ; gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang-biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari .
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh.

D. Komplikasi.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus, meningitis serosa, dan tuberkulosis milier.

E. Tanda dan gejala.
Pada stadium dini penyakit TBC biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas. Biasanya keluhan yang muncul adalah :
1. Demam : sub fibril, fibril ( 40 – 410C ) hilang timbul.
2. Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent ( menghasilkan sputum ).
3. Sesak nafas : terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
4. Nyeri dada : ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari.

F. Pemeriksaan Diagnostik.
1. Kultur sputum
Positif jika ditemukan mikobakterium tuberkulosis dalam stadium aktif pada perjalanan penyakit.
2. Ziehl-Neelsen (pewarnaan terhadap sputum)
Positif jika ditemukan bakteri tahan asam.
3. Skin test (PPD, Mantoux, Tine, Vollmer patch)
Reaksi positif (area indurasi > 10 mm timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen intra kutan) menunjukkan telah terjadinya infeksi dan dikeluarkannya antibodi tetapi tidak menunjukkan aktifnya penyakit.
4. Elisa/Western Blot
Dapat menunjukkan adanya virus HIV.
5. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan perkembangan tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
6. Pemeriksaan histologi/kultur jaringan
Positif bila terdapat mikobakterium tuberkulosis.
7. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya nekrosis.
8. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, misalnya hipernatremia yang disebabkan retensi air mungkin ditemukan pada penyakit tuberkulosis kronis.
9. Analisa gas darah (BGA)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan jaringan paru.
10. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang rugi, meningkatnya rasio residu udara pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi parenkim/fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis).

G. Pengobatan
Sejak ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi, kemudian mulai timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan secara paduan beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Paduan obat jangka pendek 6 – 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3/ 2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat ( milier ) dan TB Ekstra Paru, therapi tahap lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ/7RH. Departemen Kesehatan RI selama ini menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan 1RHE/5R2H2.
Bila pasien alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka panjang 12 – 18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah :
1. Obat anti TB tingkat satu
Rifampisin (R), Isoniazid (I), Pirazinamid (P), Etambutol (E), Sterptomisin (S).
2. Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin (K), Para-Amino-Salicylic Acid (P),Tiasetazon (T), Etionamide, Sikloserin, Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin, Sifrofloksasin, Norfloksasin, Klofazimin dan lain-lainl. Obat anti TB tingkat dua ini daya terapeutiknya tidak sekuat yang tingkat satu dan beberapa macam yang teakhir yaitu golongan aminoglikosid dan quinolon masih dalam tahap eksperimental.
Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut baru berhasil bila obat-obat yang relatif mahal (R&Z) tersedia sampai akhi masa pengobatan. Di beberapa negara berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai angka kesembuhan yang (cure rate) ditargetkan yakni 85 % karena :
- Program pemberantasan kurang baik
- Buruknya kepatuhan berobat

Hal ini menyebabkan :
- Populasi TB semakin meluas
- Timbulnya resistensi terhadap bermacam obat

Adanya epidemi AIDS akan lebih mengobarkan kembali aktifnya TB. Menyadari bahaya tersebut di atas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru dalam pengobatan TB Paru sebagai berikut :
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni
1. Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4 – 5 macam obat anti TB per hari dengan tujuan :
- Mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)
- Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut
- Mencegah timbulnya resistensi obat
2. Tahap lanjutan (continuation phase), denga hanya memberikan 2 macam obat per hari atau secara intermitten dengan tujuan :
- Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi )
- Mencegah kekambuhan
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.

Pengobatan dibagi atas 4 katagori yakni :
1. Katagori I
Ditujukan terhadap :
- Kasus baru dengan sputum negatif
- Kasus baru dengan bentuk TB berat seperti meningitis, TB diseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis, kelainan paru yang luas dengan BTA negatif, TB usus, TB genito urinarius.
Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2RHZS (E). Bila setelah dua bulan BTA menjadi negatif, diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah dua bulan masih positif, tahap intensif diperpanjang lagi selama 2 – 4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah pada tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat yakni RHZ.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4R3H3. Pasien dengan TB berat (meningitis, TB diseminata, spondilitis dengan kelainan neurologis), R dan H harus diberikan setiap hari selama 6 – 7 bulan. Paduan obat alternatif adalah 6 HE (T).

2. Kategori II
Ditujukan terhadap :
- Kasus kambuh
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE/1RHZE. Bila setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari, lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan harus diawasi dengan ketat di RS rujukan. Kemungkinan konversi sputum masih cukup besar. Bila data menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi kecil.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5 R3H3E3 yang perlu diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu diobati lagi.

3. Kategori III
Ditujukan terhadap :
- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
- Kasus TBC ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3
Pengobatan tahap lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila kelainan paru lebih luas dari 10 cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum remisi sempurna, maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama empat bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE (T)

4. Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat anti TB (sedikitnya R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat anti TB tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis.
Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental sesuai dengan sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.

Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru telah mulai dengan paduan obat : 2 RHZE/4 R3HE (kategori I), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 ( kategori II ), 2 RHZ/2 R3H3 (kategori IV).

H. Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (hilangnya keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pmeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi pasien yang mendapat pengobatan ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh.
Untuk mengetahui efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ), perlu pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah perifer. Asam urat darah perlu diperiksa bagi yang memakai obat Z. bila terdapat hepatitis karena obat ( kebanyakan karena R dan H ), maka obat yang hepatotoksis diganti dengan yang non-hepatotoksis. Pemberian steroid dapat dipertimbangkan. R atau H kemudian dapat diberikan kembali secara desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi yang memakai E, sedangkan tes audiometri perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 – 2 bulan pengobatan tahap intensif tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap obat anti TB makin meningkat dan sudah mencapai 9 %. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadapobat anti TB saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP ( Single Stranded Confirmation Polymorphism ) dalam waktu satu hari. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 99% BTA yang resisten terhadap R, 70% terhadap H, dan 60% terhadap S.

I. Dampak masalah
a. Terhadap individu.
1. Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas yang tinggi.
2. Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh karena batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan.
3. Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan penyakitnya sehingga klien selalu mengisolasi dirinya.
4. Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan tuhan karena penyakitnya yang tidak sembuh-sembuh juga menganggap penyakitnya yang manakutkan
5. Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.

b. Terhadap keluarga.
1. Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan dan upaya pencegahan penularan penyakit.
2. Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan menghambat biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
3. Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang lain.
4. Sosial.
Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian besar masyarakat belum tahu pasti tentang penyakit TB Paru

c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan Penderita TB Paru positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas akan terjadi oleh karena cara penularan penyakit TB Paru